Ilmu Budaya Dasar
Manusia Dan Pandang Hidup
Billy Jodhi
S
12114162
1KA08
Sistem
Informasi
Fakultas
Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Kata Pengantar
Puji syukur
saya panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunianya saya dapat menyusun
dan menyelesaikan makalah ini yang berjudul Manusia Dan Cinta kasih dengan
lancar dan rapi.
Manusia dan
Cinta Kasih merupakan salah satu materi dalam salah satu mata kuliah di
Universitas Gunadarma yaitu Ilmu Budaya Dasar (Softskill).
Penyusunan makalah
ini tidak terlepas dari berbagai sumber yang saya kumpulkan dan saya susun dari
berbagai pihak yang saya satukan dan saya rangkum.
Saya
menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dan kekuranganan dalam
penyusunan/penulisan makalah ini. Mohon dimaafkan dan dimaklumi. Terima kasih.
Penyusun
Billy Jodhi
S
Intisari
Pemikiran Dialogisme Bakhtin
Mikhail Bakhtin, seorang pemikir Rusia mencetus
dialogisme yang pada intinya mengemukakan ide bahwa diri kita dan orang lain
bersifat konstitutif terhadap penciptaan jati diri satu sama lain. Pemikiran
Bakhtin secara gars besar dapat dibagi dalam dua periode, yaitu dialogisme
1919-1924 dan dialogisme pasca 1924. Bakhtin sendiri lahir pada tahun 1895 dan
setelah mengalami kehidupan yang penuh tekanan politik dia
Levinas, Lacan dan Bakhtin menyoroti pentingnya
kehadiran orang lain dalam mendefinisikan dan mengkonstruksikan self.
Namun peran dan hubungan antara self dengan other diantara
ketiga pemikir tersebut tidaklah persis sama. Levinas memandang hubungan antara
self dengan alteritas/other sebagai hubungan yang tidak simetris,
dalam hal ini self berarti menjadi seseorang bagi orang lain. Subyek
menjadi seseorang ketika dia mengambil tanggung jawab atas kehadiran orang
lain. Tanggung jawab yang dimaksud Levinas cenderung bersifat sepihak yaitu
dari subyek/self kepada orang lain, sementara orang lain tidak dituntut
untuk memiliki tanggung jawab atas kehadiran kita.
Sementara bagi Bakhtin melalui konsep dialogismenya, other
merupakan bagian tidak terpisahkan untuk membangun kesadaran akan self.
Relasi dialogis antara self dan other yang setara itu lah yang
membangun kesadaran akan diri pada kedua belah pihak. Melalui penjelasan lain
Bakhtin menyebutkan self dan other bukanlah entitas yang berdiri sendiri
melainkan bersifat co-being bagi satu sama lain. Co-being ini
menimbulkan konsekuensi munculnya answerability atau saling merespon
kehadiran satu sama lain.
Other dalam dialogisme Bakhtin dibutuhkan karena self
tidak pernah mampu melihat dirinya sendiri secara utuh. Keutuhan diri bisa
terbentuk apabila ada orang lain yang ikut menunjukkan atau membantu mengungkapkan
keutuhan diri. Oleh sebab itulah keberadaan setiap individu hanya menjadi co-being,
sebab being baru muncul melalui relasi antara self dan other yang
kemudian melakukan proses penciptaan/penulisan self bersama.
Inti pemikiran Bakhtin mengenai dialogisme yang
terkait dengan kesadaran diri ini tergambar jelas melalui tulisannya dalam
revisi buku Dostoevsky (1960):
I am
conscious of myself and become myself only while revealing myself for another,
through another, and with the help of another. The most important acts
constituting self-consciousness are determined by a relationship toward another
consciousness … a person has no internal sovereign territory, he is wholly and
always in the boundary; looking inside himself, he looks into the eyes of
another or with the eyes of another.
Juga melalui
argumen berikut:
In
dialogism, self is a relative event constructed out of relation of two bodies
occupying simultaneous but different space. Self and other do not exist as
separate entities but as a relation of similarity and difference. Consciousness
is the on going, situated action of relating.
Menjadi manusia dalam dialogisme Bakhtin mengandung
konsekuensi untuk terlibat dalam tindakan penciptaan bersama (answerability).
Answerability ini dapat dibedakan kedalam dua jenis tindakan penciptaan,
yaitu; aesthetic act dan non aesthetic act.
Aesthetic act terjadi manakala self merespon other
dengan memandang other sebagai suatu kesatuan keberadaan yang utuh.
Ketika seseorang/self merespon keutuhan orang lain, maka orang lain itu
menjadi lengkap melalui proses yang dinamakan Bakhtin sebagai consummated
atau mencapai finalisasi diri. Namun pada kehidupan sehari-hari biasanya kita
tidak mampu merespon manusia sebagai kesatuan yang utuh. Saat berhadapan dengan
pedagang pasar, kita hanya merespon dia sebatas perannya sebagai pedagang pasar
saja. Tindakan penciptaan yang hanya merespon seseorang hanya sebagai
bagian-bagian tertentu orang itu saja dikategorikan Bakhtin sebagai non
aesthetic act.
Satu aspek penting dalam dialogisme Bakhtin ini, teori
ini mendasarkan diri pada asumsi unfinalizability. Dialogisme merupakan
proses yang tak berkesudahan. Dikaitkan dengan pembentukan kesadaran melalui aesthetic
act, maka finalisasi diri (consummated) pada diri manusia adalah
kondisi yang tida pernah benar-benar selesai. Manusia selalu berada dalam
kondisi yet to be. Hanya melalui kematian lah seseorang pada akhirnya
mampu mencapai finalisasi sebenarnya.
Aesthetic act sebagai upaya memberikan keutuhan kepada kesadaran
ini menurut Bakhtin adalah proses yang melibatkan tiga bagian yang sifatnya
tidak kronologis, melainkan saling terkait dan berfusi menjadi satu entitas.
Bagian-bagian yang dimaksud adalah:
- Melalui empati, kita menempatkan diri kita seperti pada posisi orang lain. Kita mencoba memahami sudut pandang orang lain.
- Kembali ke outsideness, dimana proyeksi diri sendiri kedalam orang lain diikuti dengan kembali kedalam diri sendiri. Disini self berusaha melihat bagaimana other merespon/memandang self. Self menggunakan perspekstif self untuk melihat bagaimana perspektif orang lain sebagai mana yang dipahami self dalam memandang self.
- Ketiga adalah answerability, yaitu dimana kita merespon other seutuhnya atau yang disebut consummation tadi.
Dialogisme Bakhtin pada tahap kedua kemudian diperluas
kedalam praktik komunikasi atau percakapan melalui masuknya pengaruh linguistik
Ferdinand de Saussure. Dialogisme Bakhtin pada tahap ini tidak
dimaksudkan untuk membentuk konsensus akan makna atau konsep. Dialogisme
Bakhtin adalah pertemuan utterance dalam suatu proses dimana kebersamaan
dan perbedaan sedang bermain pada peran yang berlawanan maupun saling mendukung
sekaligus.
Melalui penggambaran tadi, maka dalam dialogisme
Bakhtin adanya perbedaan adalah suatu kewajaran yang tidak perlu dibenturkan
satu sama lain untuk mencapai suatu konsensus. Disinilah perbedaan dialogisme
Bakhtin dengan communication act dari Habermas maupun dialektika Hagel.
Habermas menggunakan dialog untuk mencari penyelesaian
atau konsensus melalui kekuatan argumen. Hagel membenturkan tesis dengan anti
tesis untuk membangun sintesis. Baik Habermas dan Hagel, keduanya mengarah pada
mono voice. Artinya perbedaan tidak diakomodasi secara luas karena semua
suara yang berbeda selalu diarahkan untuk menemukan konsensus.
Bakhtin justru memandang perbedaan ini lah yang
penting. Melalui konsep double voiced discourse, Bakhtin mengakomodasi
perbedaan kesadaraan atau makna. Tidak ada pemaksaan terhadap suatu
interpretasi tunggal. Perbedaan justru dipandang baik untuk memperkaya
membentuk proses dialog. Meninggal
pada tahun 1975.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar