Senin, 04 Mei 2015

Manusia Dan Pandangan Hidup



Ilmu Budaya Dasar
Manusia Dan Pandang Hidup




Billy Jodhi S
12114162
1KA08

Sistem Informasi
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi


Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunianya saya dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini yang berjudul Manusia Dan Cinta kasih dengan lancar dan rapi.
Manusia dan Cinta Kasih merupakan salah satu materi dalam salah satu mata kuliah di Universitas Gunadarma yaitu Ilmu Budaya Dasar (Softskill).
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari berbagai sumber yang saya kumpulkan dan saya susun dari berbagai pihak yang saya satukan dan saya rangkum.
Saya menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dan kekuranganan dalam penyusunan/penulisan makalah ini. Mohon dimaafkan dan dimaklumi. Terima kasih.

Penyusun


Billy Jodhi S 

Intisari Pemikiran Dialogisme Bakhtin
Mikhail Bakhtin, seorang pemikir Rusia mencetus dialogisme yang pada intinya mengemukakan ide bahwa diri kita dan orang lain bersifat konstitutif terhadap penciptaan jati diri satu sama lain. Pemikiran Bakhtin secara gars besar dapat dibagi dalam dua periode, yaitu dialogisme 1919-1924 dan dialogisme pasca 1924. Bakhtin sendiri lahir pada tahun 1895 dan setelah mengalami kehidupan yang penuh tekanan politik dia
Levinas, Lacan dan Bakhtin menyoroti pentingnya kehadiran orang lain dalam mendefinisikan dan mengkonstruksikan self. Namun peran dan hubungan antara self dengan other diantara ketiga pemikir tersebut tidaklah persis sama. Levinas memandang hubungan antara self dengan alteritas/other sebagai hubungan yang tidak simetris, dalam hal ini self berarti menjadi seseorang bagi orang lain. Subyek menjadi seseorang ketika dia mengambil tanggung jawab atas kehadiran orang lain. Tanggung jawab yang dimaksud Levinas cenderung bersifat sepihak yaitu dari subyek/self kepada orang lain, sementara orang lain tidak dituntut untuk memiliki tanggung jawab atas kehadiran kita.
Sementara bagi Bakhtin melalui konsep dialogismenya, other merupakan bagian tidak terpisahkan untuk membangun kesadaran akan self. Relasi dialogis antara self dan other yang setara itu lah yang membangun kesadaran akan diri pada kedua belah pihak. Melalui penjelasan lain Bakhtin menyebutkan self dan other bukanlah entitas yang berdiri sendiri melainkan bersifat co-being bagi satu sama lain. Co-being ini menimbulkan konsekuensi munculnya answerability atau saling merespon kehadiran satu sama lain.
Other dalam dialogisme Bakhtin dibutuhkan karena self tidak pernah mampu melihat dirinya sendiri secara utuh. Keutuhan diri bisa terbentuk apabila ada orang lain yang ikut menunjukkan atau membantu mengungkapkan keutuhan diri. Oleh sebab itulah keberadaan setiap individu hanya menjadi co-being, sebab being baru muncul melalui relasi antara self dan other yang kemudian melakukan proses penciptaan/penulisan self bersama.
Inti pemikiran Bakhtin mengenai dialogisme yang terkait dengan kesadaran diri ini tergambar jelas melalui tulisannya dalam revisi buku Dostoevsky (1960):
I am conscious of myself and become myself only while revealing myself for another, through another, and with the help of another. The most important acts constituting self-consciousness are determined by a relationship toward another consciousness … a person has no internal sovereign territory, he is wholly and always in the boundary; looking inside himself, he looks into the eyes of another or with the eyes of another.
Juga melalui argumen berikut:
In dialogism, self is a relative event constructed out of relation of two bodies occupying simultaneous but different space. Self and other do not exist as separate entities but as a relation of similarity and difference. Consciousness is the on going, situated action of relating.
Menjadi manusia dalam dialogisme Bakhtin mengandung konsekuensi untuk terlibat dalam tindakan penciptaan bersama (answerability). Answerability ini dapat dibedakan kedalam dua jenis tindakan penciptaan, yaitu; aesthetic act dan non aesthetic act.
Aesthetic act terjadi manakala self merespon other dengan memandang other sebagai suatu kesatuan keberadaan yang utuh. Ketika seseorang/self merespon keutuhan orang lain, maka orang lain itu menjadi lengkap melalui proses yang dinamakan Bakhtin sebagai consummated atau mencapai finalisasi diri. Namun pada kehidupan sehari-hari biasanya kita tidak mampu merespon manusia sebagai kesatuan yang utuh. Saat berhadapan dengan pedagang pasar, kita hanya merespon dia sebatas perannya sebagai pedagang pasar saja. Tindakan penciptaan yang hanya merespon seseorang hanya sebagai bagian-bagian tertentu orang itu saja dikategorikan Bakhtin sebagai non aesthetic act.
Satu aspek penting dalam dialogisme Bakhtin ini, teori ini mendasarkan diri pada asumsi unfinalizability. Dialogisme merupakan proses yang tak berkesudahan. Dikaitkan dengan pembentukan kesadaran melalui aesthetic act, maka finalisasi diri (consummated) pada diri manusia adalah kondisi yang tida pernah benar-benar selesai. Manusia selalu berada dalam kondisi yet to be. Hanya melalui kematian lah seseorang pada akhirnya mampu mencapai finalisasi sebenarnya.
Aesthetic act sebagai upaya memberikan keutuhan kepada kesadaran ini menurut Bakhtin adalah proses yang melibatkan tiga bagian yang sifatnya tidak kronologis, melainkan saling terkait dan berfusi menjadi satu entitas. Bagian-bagian yang dimaksud adalah:
  1. Melalui empati, kita menempatkan diri kita seperti pada posisi orang lain. Kita mencoba memahami sudut pandang orang lain.
  2. Kembali ke outsideness, dimana proyeksi diri sendiri kedalam orang lain diikuti dengan kembali kedalam diri sendiri. Disini self berusaha melihat bagaimana other merespon/memandang self. Self menggunakan perspekstif self untuk melihat bagaimana perspektif orang lain sebagai mana yang dipahami self dalam memandang self.
  3. Ketiga adalah answerability, yaitu dimana kita merespon other seutuhnya atau yang disebut consummation tadi.
Dialogisme Bakhtin pada tahap kedua kemudian diperluas kedalam praktik komunikasi atau percakapan melalui masuknya pengaruh linguistik Ferdinand de Saussure.  Dialogisme Bakhtin pada tahap ini tidak dimaksudkan untuk membentuk konsensus akan makna atau konsep. Dialogisme Bakhtin adalah pertemuan utterance dalam suatu proses dimana kebersamaan dan perbedaan sedang bermain pada peran yang berlawanan maupun saling mendukung sekaligus.
Melalui penggambaran tadi, maka dalam dialogisme Bakhtin adanya perbedaan adalah suatu kewajaran yang tidak perlu dibenturkan satu sama lain untuk mencapai suatu konsensus. Disinilah perbedaan dialogisme Bakhtin dengan communication act dari Habermas maupun dialektika Hagel.
Habermas menggunakan dialog untuk mencari penyelesaian atau konsensus melalui kekuatan argumen. Hagel membenturkan tesis dengan anti tesis untuk membangun sintesis. Baik Habermas dan Hagel, keduanya mengarah pada mono voice. Artinya perbedaan tidak diakomodasi secara luas karena semua suara yang berbeda selalu diarahkan untuk menemukan konsensus.
Bakhtin justru memandang perbedaan ini lah yang penting. Melalui konsep double voiced discourse, Bakhtin mengakomodasi perbedaan kesadaraan atau makna. Tidak ada pemaksaan terhadap suatu interpretasi tunggal. Perbedaan justru dipandang baik untuk memperkaya membentuk proses dialog. Meninggal pada tahun 1975.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar